Bagi anda yang ingin mendownload filenya, silahkan klik link dibawah ini!
Makalah Ilmu Tasawuf (Kehidupan Sufistik Rosulullah dan Sahabat)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasulullah SAW merupakan sosok manusia yang mulia dan sempurna. Sosok manusia yang mampu dijadikan panutan atau teladan, terutama dalam hal ibadah. Betapa sempurnanya Rasulullah dalam beribadah sehingga membuat Beliau begitu dekat dengan sang Khaliq. Upaya Rasulullah dalam melakukan pendekatan kepada Allah diantaranya melalui tasawuf.
Di era Rasulullah dan para sahabat, kehidupan tasawuf mereka begitu kental dan murni sehingga layak dan patut kita jadikan teladan. Mereka tidak silau akan duniawi, berbeda dengan zaman sekarang. Orang-orang di zaman sekarang begitu silau akan duniawi dan mulai melunturkan kehidupan tasawuf. Mereka begitu jauh dari kehidupan tasawuf dan zuhud Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebenarnya kehidupan tasawuf dan zuhud seperti apa yang telah dijalankan Rasulullah dan para sahabat, sehingga patut untuk kita teladani.
Hal tersebut yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini dan nantinya kita bisa mengambil hikmah dari kehidupan mereka.
BAB II
KEHIDUPAN SUFISTIK RASULULLAH DAN SAHABAT
A. Fase-fase Perkembangan Tasawuf
Dalam tasawuf memiliki perkembangan fase-fase sebagai berikut.
Fase pertama tentang kemunculan tasawuf dinamakan sebagai fase kezuhudan.Ini terjadi pada kurun pertama dan kurun kedua hijriyah. Disana terdapat beberapa umat islam yang memusatkan diri untuk menjalankan ibadah, dan mempunyai jalan kezuhudan dalam kehidupan yang berkenaan dengan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Amal perbuatan mereka ditujukan untuk akhirat,dan itu semua sangat mempengaruhi dalam kehidupan dan perilaku mereka. Salah satu dari mereka adalah Hasan Basri yang meninggal tahun 110 H, dan Rabiah Adawiyah yang meniggal dunia tahun 185 H.[1]
Fase kedua semenjak kurun ketiga H, kami diketahui bahwa para sufi berkonsentrasi membicarakan permasalahan tentang kondisi jiwa dan tingkah laku. Sehingga intelektual dan perbuatan mereka, sangat diwarnai dengan nuansa etika yang mendorong mereka untuk memperdalam kajian tentang jiwa manusia, dan perincian-perincian kondisi perilakunya.Itu terkadang mengarahkan mereka untuk berbicara tentang intuisi, mekanisme dan metodenya, serta perkataan tentang zat Tuhan dari tinjauan hubunganNya. Sehingga muncullah perkataan tentang fana’ sufi, Terutama pada diri Abu Yazid al-Bustami.
Sebagian syekh tasawuf pada krun ke 3 dan ke 4 H, seperti Junaid, Sirri Suqthi, al-Khiraz, dan selain mereka, senantiasa dikelilingi oleh para murid untuk mendapatkan pembinaan, sehingga terbentuklah tarekat kesufian pertama kali dalam Islam, yang pada waktu itu tak lain hanya berupa perguruan-perguruan yang didalamnya terdapat adab-adab tasawuf secara keilmuan dan prakteknya.
Pada kurun ketiga H, juga terdapat salah satu tipe tasawuf yang diperankan oleh al-Halaj yang dihukum mati karena perkataannya tentang penitisan (bulul) pada tahun 309 H. Dan tampak sekali adanya pengaruh unsur-unsur asing diluar islam pada dirinya.
Kemudian munculah imam al-Ghazali pada kurun ke 5 H, yang tidak menerima tasawuf selain sepaham dengan al-Kitab dan sunah, dan menyukai kezuhudan, pendidikan jiwa, dan perbaikan etika.Al-Ghazali telah memperdalam tasawuf melebihi orang-orang sebelumnya. Ia menghantam aliran-aliran filsafat, Mu’tazilah, dan Batiniyah, yang akhirnya berujung pada pengkokohan model tasawuf moderat yang sejalan dengan madzhab Ahli sunah wal jama’ah dalam ilmu kalam, dan berbeda dengan tasawuf al-Halaj dan sekaligus dengan Abu Yazid al-Bustami.
Fase Semenjak kurun ke 6 H, perkembangan tasawuf suni didunia Islam semakin meningkat karena pengaruh kebesaran Imam Al-Ghazali.Kemudian muncul seorang tokoh besar yang membentuk sebuah jalan pendidikan terhadap murid. Salah satu dari mereka adalah Sayed Ahmad Rifai yang meninggal tahun 570 H, dan Sayed Abdul Qader al- Jailaniyang meninggal tahun 651 H, dan keduanya termasuk sufi-sufi moderat yang terpengaruh oleh al-Ghazali.
Kemudian pada kurun ke 7 H, munculah syekh-syekh lainnya yang juga menempuh jalan yang serupa. Salah satu dari mereka adalah Abu Hasan Syadzali(meninggal tahun 656 H), muridnya yang bernama Abu Abas al-Mursi (meninggal tahun 686 H), dan murid keduannya yang bernama Ibn Atha’illah al-Iskandari (meninggal tahun 709 H). Mereka adalah tonggak-tonggak madrasah Syadzaliyah dalam tasawuf, dan tasawufnya dianggap sebagai kesinambungan dari tasawuf al-Ghazali yang Suni.[2]
Namun demikian, sejak kurun ke 6 H, kami menemukan pula sekumpulan syekh-syekh sufi lainnya yang memadukan antara tasawuf dengan filsafat. Sehingga muncullah pemikiran-pemikiran yang tidak bisa dikatakan sebagai tasawuf murni, dan sekaligus juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat murni.[3]
B. Praktek Sufistik pada Rasulullah SAW
Seperti halnya al-Qur’an, sebagai salah sattu sumber tasawuf dalam Islam, begitu juga halnya dengan kehidupan dan sabda Rasulullah SAW juga merupakan salah satu sumber tasawuf.
Setiap bulan Ramadhan, demikian diriwayatkan, Muhammad selalu menyendiri di Gua Hira, menjauhi keramaian hidup, menghinddari kelezatan dan kemewahan duniawi, menghindari makan dan minum yang berlebihan dan mengurangi tidur serta merenungi alam semesta.Ini semua membuat kalbu beliau menjadi bersih, yang merupakan pengantar terhadap kenabian beliau.Hal ini berlangsung sampai Jibril turun menyampaikan wahyu pertama.Tindakan yang dilakukan Muhammad tersebut dilakukan agar beliau memperoleh petunjuk, hidayah, serta hakikat kebenaran.
Kehidupan Muhammad dalam Gua Hira ini merupakan cikal bakal kehidupan yang nantinya akan dihayati para zahid (asketis) maupun sufi, dimana mereka menempatkan dirinya dibawah berbagai latian rohani hingga fana didalam munajat (audiensi) dengan Tuhan sebagai buah dari khalwah. Imam Ghazali, dalam komentarnya tentang penisbahan jalan yang ditempuh para sufi pada kehidupan Nabi SAW ketika beliau menyendiri di Gua Hira, berkata:
“Manfaat pertama (dari mengisolasi diri) ialah pemusatan siri dalam beribadah, berpikir, mengakrabkan diri didalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan makhluk, serta menyibukkan diri dengan menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. Inilah yang disebut kekosongan, padahal tidak ada kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih baik bagi mereka (maksudnya, para sufi). Bahkan Rasulullah SAW pada permulaan kenabian beliau, hidup menyendiri di Gua Hira serta mengisolasi diri, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliua menjadi kuat. Karena itu semua makhluk tidak akan sanggup menghalangi beliau dari Allah. Sebab, sekalipun tubuh beliau beserta para makhluk , namun kalbu beliau selalu menghadap Allah.”[4]
Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. pernah berkata: yang pdertama-tama dialami Rasulullah SAW dalam hal wahyu ialah mimpi hakiki dalam tidur. Yang beliau lihat lewat mimpi itu adalah cahaya kebenaran yang setiap saat beliau mohonkan.Dengan demikian, beliau mulai senag menyendiri dengan mendatangi Gua Hira dalam bebrapa malam, dengan membawa bekal secukupnya untuk hidup disana.Setelah itu, beliau kembali kepada khadijah dan beliau diangkat menjadi Rasulullah SAW.
Mengenai kehidupan Nabi SAW setelah turunnya wahyu, ditandai sikap zuhud dan pengendalian diri dalam makan dan minum. Pengisian dengan amal-amal saleh yang merupakan sumber kekayaan bagi para sufi. Rasulullah SAW pada periode ini selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, banyak beribadah dan shalat tahajud. Keadaan ini berlangsung sampai turunnya teguran Allah, seperti firmannya: Taha! Kami tidak menurunkan al-qur’an ini kepadamu agar kami menjadi susah (QS.20:1-2). Kehidupan sederhana nabi ini memang atas dasar kehendak beliau sendiri. Dalam hal ini Husein Haikal menulis:
Kesederhanaan atau ketidakinginannya terhadap dunia ini bukanlah semacam kewajiban agama. Sebab di dalam al-qur’an difirmankan: manakah diantara rezeki baik yang telah kami berikan kepadamu. Dan dalam sebuah hadis: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.” Maksud Muhammad SAW ialah beliau ingin memberi suri teladan untuk manusia tentang ketangguhan yang tidak mengenal lemah.Selain itu, agar membuat orang yang berkepribadian seperti itu tidak diperbudak kekayaan, kekuasaan, atau yang lainnya yang membuat hal-hal selain Allah menjadi berkuasa.”[5]
C. Praktek Sufistik pada Sahabat
Kehidupan dan ucapan para sahabat pun merupakan sumber tempat menimba para sufi.Kehidupan dan ucapan mereka menunjukkan adanya sikap zuhd (asketisisme), kehidupan sederhana dan kepasrahan kepada Allah.Tindakan para sahabat sehari-hari sungguh mengikuti jejak Nabi dalam semua ucapan dan tindakan mereka.
Allah memuji dan menyediakan surga bagi mereka, para sahabat. Sesuai dengan firman Allah Q.S. At-Taubah: 100.
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu, lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
Di sini kami akan mengemukakan beberapa sahabat-sahabat besar tentang amalan-amalan dan ucapan-ucapan mereka yang menjadi sumber ajaran tasawuf.
1. Abu Bakar al-Siddiq
Abu Bakar merupakan salah seorang yang asketis, sehingga diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu ia selalu dalam keadaan lapar. Baju yang dimilikinya tidak lebih dari satu, Beliau pernah berkata: “Jika seorang hamba begitu terpesona oleh suatu pesona dunia, Allah membancinya sampai ia meninggalkannya.”[6]Beliau pernah memegang lidahnya seraya berkata: “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku.” Selanjutnya beliau berkata: “Apabila seorang hamba telah dihinggapi ‘ujub, karena suatu kemegahan dunia ini, maka Tuhan akan murka kepadanya sampai kemegahan itu diceraikannya.”
Tentang arti takwa, yakin dan rendah hati, dapat disimak dari ungkapannya: “Kami mendapat kedermawanan dalam takwa, kecukupan dalam yakin, dan kehormatan dalam rendah hati.” Kemudian, tentang ma’rifat, beliau berkata: “Barangsiapa merasakan sesuatu dari pengenalan terhadap Allah secara murni, dia akan lupa segala sesuatu selain Allah, dan menyendiri dari semua manusia.” Al-Junaid dalam penuturannya tentang Abu Bakar, berkata: “Ungkapan terbaik dalam hal tauhid ialah ucapan Abu Bakar al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak menciptakan jalan bagi makhluk untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya.”
Tatkala Abu Bakar dipilih menjadi khalifah pertama, beliau mengucapkan kata-kata yang menunjukkan kejujuran, keikhlasan, dan kerendahan hatinya. Beliau berucap: “Sekarang aku telah kamu angkat menjadi kepala negara. Tetapi ketahuilah bahwa keangkatan itu aku terima, bukan karena aku yang terbaik di antara kalian.Oleh karena itu, jika aku benar dalam politik dan kebijaksanaanku, sokong dan bantulah aku, tetapi jika aku salah dan menyimpang daripada ajaran Allah dan Sunnah Rasul, perbaikilah kesalahanku itu.Benar itu adalah kejujuran dan salah itu adalah pengkhianatan. Yakinlah orang yang lemah menjadi kuat padaku dengan membela haknyayang benar, sebaliknya orang yang kuat akan menjadi lemah padaku, jika ia zalim. Waspadalah dan teruskanlah jihad kalian dalam membela kebenaran Tuhan.”[7]
2. Umar bin Khattab
Di samping Abu Bakar, Umar bin Khattab pun terkenal dengan kebeningan jiwa dan kebersihan kalbunya sehingga Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan kalbu Umar.” Beliau, Umar terkenal dengan kesederhanaannya.Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah dia menjabat sebagai khalifah, dia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.Kemudian, diriwayatkan, pada suatu hari beliau pernah terlambat datang ke masjid sehingga terlambat pula dilaksanakan salat fardu secara berjamaah – karena pada setiap salat fardu biasanya beliaulah yang menjadi imam.Salah seorang temannya bertanya, kenapa terlambat datang. Beliau menjawab: “Kain saya sedang dicuci dan tidak ada lagi yang lainnya.”
Dalam sebuah keterangan tentang peneladanan para sufi terhadap Umar bin Khattab, al-Tusi menulis:
“Dalam berbagai hal para sufi banyak meneladani Umar. Di antaranya ialah sifatnya yang memakai pakaia bertambal, sikapnya yang tegas, tindakannya dalam meninggalkan hawa nafsu, tindakan kekeramatan yang dimilikinya, ketegarannya terhadap yang salah ketika kebenaran telah tampak, ketangguhannya dalam menegakkan kebenaran, tindakannya dalam menyamaratakan hak-hak orang yang dekat ataupun jauh dan keteguhannya yang tak tergoyahkan dalam ketaatan.”[8]
Demikianlah sebagian dari kehidupan Umar bin Khattab; di samping sebagai pelaksana dalam pemerintahan, juga sebagai pemimpin hidup kerohanian yang bersahaja dan sederhana, sehingga kesederhanaan, juga keikhlasan, keadilan, keteguhan, dan ketegaran Umar bin Khattab itu dipandang oleh kaum sufi sebagai teladan mereka.
3. Usman bin Affan
Usman bin Affan telah masuk Islam pada awal kelahirannya atas ajakan Abu Bakar al-Siddiq. Beliau banyak sekali membantu perjuangan Rasulullah SAW, baik secara materii maupun secara moril
Sebagaimana kita kenal dalam sejarah Islam, Usman bin Affan terbunu sewaktu beliau membaca al-Qur’an. Oleh para sufi, kasus ini diinterpretasikan secara khusus. Misalnya saja, al-Tusi di dalam karyanya al-luma’ berkata:
“Di antara berbagai hal yang menunjukkan keistimewaanya dalam kemapanan, keteguhan, dan kelurusannya ialah kisah bahwa pada hari ketika dia terbunuh, dia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan dia tidak mengizinkan seseorang pun berperang. Dia tidak melepaskan mushaf dari pangkuannya sampai dia menghembuskan nafas terakhir, sementara beliau sendiri bersimbah darah. Percikan darah itu mengena pada ayat: “Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137)”
Dengan demikian, Usman bin Affan dalam pandangan kaum sufi telah berhasil berhubungan dengan Allah dan mencapai tingkat kemapanan diri, yang membuatnya teguh menghadapi siapapun dan apapun di sekitarnya.
Di antara ucapan-ucapan Usman bin Affan yang menggambarkan ajaran tasawuf adalah:
“Aku dapatkan kebajikan terimpun dalam empat hal.Pertama, cinta kepada Allah.Kedua, sabar dalam melaksanakan hukum-hukum Allah.Ketiga, Ridho dalam menerima takdir (ketentuan) Allah.Dan keempat, malu terhadap pandangan Allah.”
Maka jelas di sini, kata al-Taftazani, beliau mengemukakan empat maqamat dari maqamat perjalanan rohaniyah (suluk), yaitu cinta, sabar, ridho, dan malu kepada Allah SWT.[9]
4. Ali bin Abi Thalib
Khalifah yang keempat ini tidak kalah pula masyhurnya dan lantas dijahitnya sendiri kehidupan kerohaniannya.Pekerjaan dan cita-citanya yang besar menyebabkan dia tidakpeduli bahwa pakaiannya sobek, lantas dijahitnya sendiri. Pernah orang bertanya: “Mengapa sampai begini ya Amirul Mu’minin?” Beliau menjawab: “Untuk mengkhusyukkan hati dan menjadi teladan bagi yang beriman.”
Ali bin Abi Thalib adalah menantu Rasulullah SAW, suami Fatimah binti Muhammad SAW. Beliau adalah pahlawan besar, penakluk perang Khaibar.
Ali bin Abi Thalib, dalam pandangan kaum sufi, secara khusus mempunyai kedudukan tersendiri.dalam hal ini,Abu Ali al-Ruzabari - seorang tokoh sufi angkatan pertama – berkata: “Dia dianugerahi ilmu ladunni, yaitu ilmu yang secara khusus dianugerahkan kepada manusia tertentu seperti kepada khidr”, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan yang telah kami ajarkan kepadaya ilmu dari sisi kami.” (QS.18:65).Al-Tusi dalam bukunya Al-luma’ mengatakan: “Di antara para sahabat Rasulullah SAW amir al-mu’minin Ali bin Abi Thalib memiliki keistimewaan tersendiri dengan ungkapan-ungkapannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus halus, kata-katanya yang unik, pernyataan dan penjelasannya tentang tauhid,ma’rifah, iman, ilmu, dan lain sebagainya serta sifat-sifat yang terpuji, yang menjadi panutan dan teladan bagi para sufi.”[10]
Dikatakan, Ali bin Abi Thalib adalah sahabat nabi yang adil dan bijaksana.Apabila beliau berkata maka setiapperkataannya mengandung hikmah dan apabila beliau menghukum maka semua hukumannya adil.Suatu ketika beliauditanya tentang pengertian iman. Beliau menjawab: “Iman dilandaskan atas empat pilar,yaitukesabaran,keyakinan, keadilan, dan jihad.”Kemudian dia menguraikan setiap maqamat tersebut secara rinci. Dalam komentarnya terhadap uraian Ali tersebut, al-Tusi berkata: “Seandainya hal ini benar, maka beliau adalah orang yang pertama-tama mengemukakan masalah ahwaldan maqamat (menurut para sufi).” Kata al-Tusilebih jauh: “Banyakahwal, ajaran moral (akhlak)dan tindakamAli r.a. yang menjadi panutan para sufi.”[11]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Simpulan
Tasawuf merupakan salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang hidup dengan sikap tasawuf disebut sebagai sufi. Kehidupan sufistik ini ternyata telah ada di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.
Kehidupan sufistik ternyata mengalami perkembangan-perkembangan dari satu fase ke fase lain, dari satu zaman ke zaman lain, terus mengalami perkembangan.Semua pola kehidupan baik perbuatan dan tutur kata Rasulullah SAW dan para sahabat merupakan bentuk-bentuk ajaran tasawuf.
Dengan demikian, kehidupan orang-orang yang bertasawuf identik dengan pola hidup sederhana dan tidak terlalu memikirkan dunia.Hanya dengan satu tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Abu,2008. Tasawuf Islam. Jakarta: Kadata
As,Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf,. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani,Tasawuf Islam,(Jakarta: Kadata, 2008),hlm.17.
[2] Ibid, hlm. 19.
[3] Ibid,hlm.19.
[4] Asmaran As , Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 213.
[5] Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Op.Cit.hlm.15.
[6] Asmaran As , Op.Cit.hlm. 221.
[7] Ibid, hlm. 222.
[8] Ibid, hlm. 227.
[9] Ibid,hlm.230.
[10] Ibid,hlm.231.
[11] Ibid,hlm.231.
0 Komentar untuk "Makalah Ilmu Tasawuf (Kehidupan Sufistik Rosulullah dan Sahabat)"